Minggu, 22 Agustus 2010

3. Wajah Gereja Katolik Santo Yosef Mejasem saat ini:

Setelah melihat sekilas sejarah gereja katolik Mejasem, maka pertanyaan pokok selanjutnya adalah “...kini, apa katamu tentang dirimu sendiri, hai Gereja Santo Yosef Mejasem?” Untuk menjawab hal ini kami telah berjuang untuk berbicara dari data konkrit di lapangan. Sejak Mei 2007 formulir pendataan umat disebarkan ke wilayah-wilayah. Akhir Juli, kami mulai menggodok data yang masuk. Kesulitan yang kami hadapi adalah pengisian formulir tidak lengkap. Oleh karena itu masih perlu penyempurnaan data selanjutnya. Walau demikian dengan data yang masuk kami telah bisa mengenali diri kami sebagai Gereja santo Yosef Mejasem.

Per 29 Agustus 2007, umat katolik Mejasem berjumlah 1.127 jiwa, 546 laki-laki dan 581 perempuan. Umat tersebar di 10 wilayah:

  1. wilayah Antonius: 103 jiwa L: 52 P: 51 KK: 29
  2. wilayah Agustinus: 137 jiwa L: 64 P: 73 KK: 35
  3. wilayah Thomas: 125 jiwa L: 57 P: 68 KK: 35
  4. wilayah Yohanes: 122 jiwa L: 64 P: 58 KK: 39
  5. wilayah Lusia: 135 jiwa L: 66 P: 69 KK: 34
  6. wilayah Bernardus: 139 jiwa L: 67 P: 72 KK: 38
  7. wilayah Paulus: 95 jiwa L: 50 P: 45 KK: 30
  8. wilayah Ignatius: 92 jiwa L: 46 P: 46 KK: 29
  9. wilayah Gabriel: 83 jiwa L: 37 P: 46 KK: 19
  10. wilayah Michael: 96 jiwa L: 43 P: 53 KK: 25

Dari data lapangan dan situasi kondisi umat katolik Mejasem maka bisa ditarik beberapa persoalan sentral yang akan menjadi perhatian bagi kinerja segenap Dewan Pastoral Paroki dalam menata diri ke masa depan.

1). Gereja katolik Mejasem di pinggiran kota:

Dari 10 wilayah Mejasem, 6 wilayah secara pemerintahan termasuk wilayah Kabupaten Tegal dan 4 wilayah berada di wilayah kotamadya Tegal. Kondisi kombinasi kota dan desa ini pasti juga akan membawa konsekuensi. Misalnya dalam urusan pencatatan nikah, kami harus berurusan dengan 2 instansi yang berbeda.

Posisi abu-abu ini membawa kesulitan tersendiri. Mejasem bukan kota dan bukan desa. Budaya dan gaya hidup pinggiran kota juga melekat dalam kehidupan warga umat Mejasem. Pengaruh mode dan gaya hidup tidak bisa dilawan. Konsekuensinya tuntutan biaya gaya hidup menjadi persoalan khusus. Bagi keluarga yang ekonominya memadai tidak terlalu jadi persoalan. Tapi bagi yang pas-pasan akan sangat berpengaruh. Dalam hal ini yang paling rentan berhadapan dengan budaya demikian adalah kaum muda.

2). Gereja kaum pendatang:

Dengan membaca data yang terkumpul, sekitar 90% umat Mejasem adalah kaum pendatang. Warga asli kelahiran Tegal kebanyakan adalah warga Tionghoa. Penduduk asli Mejasem tidak ada yang katolik. Sehingga kelihatannya sentuhan budaya setempat tidak terasa di Mejasem. Kondisi demikian menjadikan Gereja serasa kurang mengakar di bumi Mejasem. Sebagian besar umat adalah kaum pendatang dari daerah ‘Wetanan’ (Semarang, Magelang, Jogyakarta, Klaten dll). Sebagian lain datang dari Sumatra, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi. Resiko paling nyata adalah pada saat musim mudik, kegiatan menggereja akan terganggu.

Kondisi ini juga menuntut konsekuensi tersendiri. Sadar akan diri sebagai pendatang maka harus lebih banyak bersosialisasi. Karena dukungan dan pengakuan masyarakat setempat akan sangat berpengaruh dalam ketenangan dan kelancaran aktivitas hidup. Ini penting kalau Gereja Katolik tidak mau menjadi barang asing di tanah Mejasem.

3). Sumber Daya Manusia cukup:

Dari data pekerjaan dan pendidikan terekam bahwa dari antara 1127 jiwa umat katolik Mejasem, terdapat 134 sarjana, PNS 29 orang, pengusaha/wiraswasta 13 orang. Yang paling menonjol juga bahwa Mejasem kaya guru dan dosen, yakni 56 orang guru/dosen. Tentu hal ini akan mendatangkan rahmat tersendiri. Telah dirasakan bagaimana hal itu sangat menopang aneka kegiatan gereja Mejasem.

Maka tantangan di masa depan bagi Gereja Katolik Mejasem adalah bagaimana menghimpun, mem-berdaya-kan dan melibatkan SDM ini. Karena pengalaman membuktikan bahwa peluang ini juga bisa menjadi bumerang. Karena sering kali ada ungkapan skeptis: betapa sulitnya mengatur ‘orang pintar semua’. Yang jelas, potensi bagaimanapun besarnya kalau tidak digerakkan akan tinggal bagaikan talenta dalam tanah.

4). Peluang dan tanggungjawab:

Melihat data umur warga umat Mejasem menarik untuk diamati. Anak usia di bawah 20 tahun berjumlah 338 orang. Ini merupakan generasi penerus gereja katolik Mejasem. Cf. banyaknya barisan anak yang minta berkat saat misa. Tapi banyaknya anak muda bukan otomatisme bagi perkembangan Gereja. Pertanyaannya adalah akan menjadi apakah mereka nanti... Maka tantangan kita adalah bagaimana membentuk dan membina generasi muda ini.

Apalagi posisi Mejasem di pinggiran kota, terbuka bagi gerak perpindahan kaum muda. Setamat SLTA anak-anak biasanya pergi kuliah di luar kota (Jogyakarta, Solo, Semarang, Bandung, Jakarta). Bahkan ada yang sudah mengirimkan anak sekolah di luar kota sejak SLTA. Hanya pada saat liburan mereka datang di Mejasem. Praktis kesempatan keluarga mendampingi anak-anak secara intensif hanya terjadi dalam waktu relatif singkat. Yakni saat anak-anak usia prasekolah, SD, SLTP dan SLTA. Setelah itu anak-anak kita dilepaskan dengan harapan bisa mandiri. Tantangan kita adalah bagaimana mendampingi anak-anak secara serius.

5). Kaum marginal: keluarga miskin, keluarga bermasalah, kawin campur:

Dari keluarga demikian biasanya berpeluang muncul aneka persoalan: masalah moral, keluarga bubar, masalah kenakalan anak muda (dan orang tua), anak-anak terlantar pendidikan dan pendampingannya dll. Maka Gereja mempunyai tugas serius dalam hal ini. Apalagi kondisi demikian dijadikan peluang bagi kolompok lain untuk kepentingan mereka.

Kondisi perekonomian Indonesia yang tidak stabil menyebabkan banyak pengusaha terancam. Banyak perusahaan yang tersendat dan berakibat bagi para karyawan. Syukur kalau hanya menerima nasib ‘dirumahkan’, tapi tidak sedikit juga yang harus di-PHK. Oleh karena itu sangat disadari oleh Dewan Pastoral Paroki Mejasem bahwa karya kerasulan Sosial Ekonomi akan sangat ditantang dalam program kerja dan pelayanan konkritnya.

6). Paroki baru:

Hal yang satu ini tidak bisa dipungkiri. Sebagai paroki baru pasti dalam banyak hal masih harus belajar dan berbenah diri. Upaya paling utama adalah menjalin persekutuan umat yang kuat. Tapi di atas itu juga bagaimana mengupayakan persaudaraan sejati di kalangan umat. Memang disadari bahwa umat Mejasem relatif kecil. Tapi bukan hal sederhana juga untuk mengeratkan yang kecil ini. Sebaliknya bukan mustahil untuk menjadikan yang kecil di mata manusia ini menjadi besar di mata Allah.

Sebagai paroki baru, maka perlu kesadaran segenap warga umat Santo Yosef Mejasem untuk berbenah diri bersama. Oleh karena itu, visi pertama kami akan terfokus pada upaya untuk menghimpun dan menguatkan persekutuan umat beriman. Dan itu harus dimulai dari Dewan Pastoral Parokinya... Kerja keras kami adalah bagaimana menyiapkan perangkat dan sarana prasarana yang harus ada dalam sebuah paroki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar